Senin, 24 Februari 2014

Black Love

Aku sungguh tidak mengerti dengan apa yang terjadi saat ini. Tak pernah mengira hidup akan membawaku sejauh ini. Aku menjadi semua yang aku hindari sepanjang kehidupan dewasaku. Mencintai laki-laki beristri, merusak kehidupan rumah tangga orang lain dan menjadi wanita simpanan. Aku mencuri pria dari wanita lain. Namun sungguh aku tak menginginkannya. Jika saja keadaannya berbeda, tentunya aku akan memilih yang lain. Namun pada akhirnya yang harus kuhadapi adalah pilihan. Pilihan-lah yang membawaku pada keadaan ini, pilihan jua lah yang akhirnya membuatku terjepit seperti tikus dalam perangkap. Aku segera membenahi pakaian kerjaku yang berserakan disegala tempat. Terburu-buru aku mengenakan kembali pakaianku. Pada saat akhirnya aku hampir siap dan tiba pada kancing kemeja teratasku, pandanaganku tertubruk pada sosok hitam pria yang semalam telah berbagi kenikmatan denganku berkali-kali. Wajah tenangnya yang tertidur pulas menyentuh hatiku. Bibir tegas yang biasa tersenyum padaku kini tampak begitu halus dalam dengkuran kecil nyaris seperti bisikan. Dadanya yang berotot di tumbuhi bulu-bulu halus yang terasa hangat semalam dan selimut yang semalam membentang rapi diatas tempat tidur kini membelit pingganggangnya dengan berantakan. Tampa kusadari tanganku meraih pada rambut ikalnya, membelai lembut helaiannya yang mencuat keluar dan aku mulai menelusuri garis rambutnya. Tidak. Tidak. Aku tak boleh terlena. Segera kuselesaikan berpakaian dan menyambar tas kantorku seraya memakai kembali sepatu kerjaku. Kemudian tanpa ragu lagi kutinggalkan kamar hotel tempat kami bermalam itu. Aku tidak akan menunggunya terbangun hanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Kali ini aku akan benar-benar meninggalkannya. Aku menunggu taksi sedikit lebih lama dari yang kuperkirakan dan pada saat aku baru saja duduk dikursi belakangnya, telpon selularku berbunyi. Siapa lagi... kuabaikan panggilannya sampai dering telpon ku berakhir, kemudian sekali lagi dan sekali lagi. Kulesakkan jauh-jauh telpon genggamku itu kedalam tas dan ku coba pejamkan mata. Seharusnya malam ini tidak sampai sejauh ini, seharusnya aku hanya harus mengatakan bahwa semuanya berakhir dan sudah itu saja, aku tak harus setuju dan mengikutinya saat ia berkata ... “sekali saja untuk satu malam, terakhir kalinya biarkan aku menyentuhmu... hanya sekali saja..” pasti karena mata itu, tatapan itu, kesedihan yang kulihat yang juga kurasakan, seperti menyihirku dan membuatku merelakan tangannya menggandengku ke kamar itu, menyentuh wajahku, bibirku, dan akhirnya seluruh diriku luruh bersamanya. Tak bisa kupungkiri betapa aku mencintainya sehingga sakit rasanya saat membayangkan aku akan memaksa diriku menjauh darinya, tapi aku tak sanggup berlama lama dalam ketidak pastian ini, aku tau ia tak akan meninggalkan istrinya, apa lagi kini mereka baru saja memiliki seorang anak.